Postingan

Teaser/Preview Novel YARN Summit (Peringga Ancala)

Cover Novel YARN Summit

Novel YARN Summit Teaser Page 1

Novel YARN Summit Teaser Page 2

Ada review baru untuk Novel YARN Summit!

Review Novel YARN Summit by Peringga Ancala

Talkshow kepenulisan FLP Lampung

Menghadiri undangan dari FLP Lampung untuk mengisi talkshow kepenulisan bersama mbak Sinta Yudisia, peraih FLP Award,  novelis anak mbak Tuti Sitanggang dan Pendongeng kak Firman Junaedi.

Writing Gateway Tulis Nusantara Kepulauan Seribu

Writing Gateway di Pulau Harapan, Kepulauan Seribu bersama para panitia Tulis Nusantara.

Pemenang kategori Novel Tulis Nusantara Kemenparekraf

Dari kiri ke kanan : Mbak Sinta Yudisia Wisudanti, penulis produktif yang sudah menghasilkan segudang karya. Saya, desainer yang nekat menulis novel. Badrul Munir Chair, novelis dan penyair berbakat yang humoris.

Malam Anugerah Tulis Nusantara Kemenparekraf 2013

Saya beserta sebelas pemenang lainnya di malam anugerah Tulis Nusantara Kemenparekraf 2013, Jakarta.

Juara Harapan Lomba Cerpen Majalah Annida 2005


Suara Dalam Botol
Oleh :  Peringga Ancala

“Jualan apa sih mbak?”
“Jualan suara mas!” 
Si mbak bermata sendu itu mengacungkan beberapa botol mungil transparan.  Kosong.  Tak ada isinya.  Benar-benar kosong.  Wah, apa dia gila?  Suara kok dijual?  Tapi, entah mengapa, batinku mendorong untuk terus bertanya.
“Lho, ini nggak ada apa-apanya kok?”  tanyaku bingung.
“Ya, itu suaranya toh mas…”
Kugoncang-goncang botol mungil seukuran jempol.  Tak ada suara apapun disana.  Kudekatkan telingaku.  Berharap ada sedikit gemerisik.  Tetap nihil.  Malah aku jadinya yang seperti gila, berharap ada suara didalamnya.  Mustahil kan?
“Ah, mbak bisa aja.  Ini nggak ada bunyi apa-apa kok.  Coba dengerin.”  Aku menaruh kembali botol itu kegenggaman tangannya.
‘Lagian, suara kok dijual.  Ada-ada aja mbak ini…”  Gerutuku sambil berlalu.  Dongkol karena merasa dibohongi.  Tapi si mbak ternyata lebih cekatan dari yang kuduga.  Dia menahan lenganku.  Aku berusaha menepis. 
“Jangan paksa saya dong kalo nggak mau beli!”  Tegasku. 
Si mbak tetap menahan lenganku.   Persis adegan sepasang kekasih yang sedang berkelahi,   Aku jadi agak malu.  Kuedarkan pandangan ke sekitar.  Jangan-jangan ada temanku yang melihat.  Bakal habis aku diolok-olok mereka.
“Mas belum tahu rahasianya…” 
Suara si mbak terdengar lirih tetapi terasa dalam.  Seperti suara yang dipantulkan dalam gua.  Dan mata itu, yang tadinya sendu kini berubah tajam.  Rasanya seperti berbicara dengan dua orang yang  berbeda.  Atau ah, siang bolong gini kok bisa-bisanya berimajinasi.
“Hanya orang tertentu saja yang tidak mendengar suara didalam botol itu..”
“Orang tertentu?  Emangnya ada yang salah ama diri saya sampe nggak bisa denger?”  Aku mengerinyit. 
Sejujurnya, aku bukanlah orang bodoh.  Yang bisa saja ditipu pedagang untuk membeli barangnya.  Tapi, batinku kok rasanya tidak yakin bila si mbak yang sekarang ada dihadapanku itu adalah penipu.  Dia tidak seperti tukang obat yang menggelar dagangan diatas trotoar.  Lagipula, aku memang sungguh penasaran sekali dengan dagangannya.  Suara.  Iya, suara masak didagangkan?   Pemilu kan sudah habis.  Sudah nggak musimnya lagi beli-beli suara. 
Si mbak kembali menatapku dengan pandangan yang masih sama.  Aduh, jangan-jangan dia mau menghipnotisku.  Kan sekarang lagi ngetrend tuh penipuan pake hipnotis.  Tapi, lagi-lagi, seperti tadi, batinku menolak.  Husss, suuzon itu!
“Sungguh, mas nggak denger sama sekali suara itu?”
“Aduh, si mbak.  Nagapain saya boong.  Gini aja deh mbak, kalo mbak memang perlu duit.  Ini, saya cuma ada segini.” 
Aku menyerahkan beberapa lembar uang seribuan.  Tak ada salahnya kan?  Dilihat dari penampilan mbak itu, dia memang terlihat membutuhkan uang.  Diluar dugaan. Ia menolak.  Aku semakin heran.  Dan penasaran.  Lho, jadi apa maunya sih orang ini? 
Malah air matanya yang turun merembes.  Walah, walah… gawat ini.!  Bisa jadi tontronan gratis aku!
“Mm...mbak, kok malah nangis?  Saya salah ngomong ya?  Duh,maaf, maaf!    Saya bukannya bermaksud menyinggung mbak, saya cuma..”
Si mbak menggeleng cepat. 
“Bukan mas… saya malah bersyuikur. Akhirnya saya bisa juga bertemu dengan orang yang tidak bisa mendengar suara ini.  Akhirnya…”  
Si mbak menyeka pipinya yang basah dengan tangan kumalnya.  Aku merogoh saku celana.  Mencari sebungkus tisu yang biasanya ada disana.  Si mbak tak mempedulikan tisu yang kusodorkan.  Ia sibuk melepas tas travelnya yang lumayan kumuh, kecoklatan.  Aku  semakin melongo, tak mengerti.  Dicangklongkannya travel yang lumayan besar ketanganku.
“Semuanya ini untuk mas.” 
Lalu tanpa ba bi bu lagi, si mbak itu membalikkan badan dan pergi meninggalkanku.  Beberapa jeda, aku terlongong.  Saat tersadar, aku berteriak-teriak memanggilnya.  Dan berusaha mengejarnya, tapi uff… berat sekali tas ini!  Tapi, bagaimana mungkin?  Toh , tadi si mbak itu santai saja mengangkatnya.  Dia kan perempuan. Berapalah tenaganya dibandingkan aku.  Kupaksa menyeretnya dipunggung, berlari menuju kearah mbak tadi tapi sial! 
Punggung mbak itu sudah hilang ditelan kerumunan pasar yang padat.   Menengok kanan kiri.  Berputar-putar disekitar pasar.  Tetap saja tak kutemui.  Aneh!  Sungguh ajaib!   Seakan dia lenyap begitu saja,.  Seperti uap air yang melayang ke udara.  Tak berbekas.  Siapa dia sebenarnya? 
Pusing berpikir, kuputuskan untuk membuka tas kumuh itu. Aku membeliakkan mata.  Botol-botol mungil yang katanya berisi suara itu.  Jumlahnya ratusan!  Dengan ukuran yang sama.  Yang membedakan hanya tutupnya yang berwarna-warni.  Sebetulnya aku bisa saja meninggalkan ransel berisi botol-botol kosong itu disini, di jalanan ini.  Tak akan ada yang peduli. 
Atau membuangnya saja di kotak sampah.  Beres!  Tapi entahlah, seperti tadi, batinku menolak.    Jadilah aku seperti orang konyol, menyeret-nyeret travel besar itu sampai ke rumah.  Ah, kenapa jadi runyam begini?
!!!
            Ibu yang pertama kali bertanya tentang botol mungil itu.  Botol-botol itu kutumpahkan dipojok kamar dan kubiarkan teronggok begitu saja, karena aku inginmandi sore dulu.  Rencananya nanti saja kubereskan.  Tak kupungkiri, agak aneh memang mengapa aku kok bisa peduli dengan hal remeh temeh begini.  Buang-buang waktu saja.  Padahal botol itu jelas tak ada gunanya.  Tapi, ya itu tadi, batinku, kalau boleh pinjam kata seorang penyair, mendadak jadi meronta-ronta bila botol-botol itu kuacuhkan.  Jadi mau tak mau, aku harus peduli. 
Bukan berarti aku orangnya masa bodo, semua temanku bilang, aku ini sangat pedulian tapi terhadap hal berarti seperti yang berhubungan dengan kemanusian, keadilan , begitu loh!  Tidak untuk hal yang jelas disebut sampah ini.  Tapi, yah… bagaimana nanti, akan kupikirkan didalam kamar mandi saja.  Siapa tahu ada ide yang muncul. 
Kembali ke cerita tentang ibu.  Aku keluar dari kamar mandi dan mendapati ibuku, yang masih sangat cantik dalam usia menjelang lima puluhan.
Apalagi dengan dandanannya yang tak kalah gaul dengan anak muda zaman sekarang-meski sejujurnya aku sangat tak suka!  (Tapi ibuku memang keras kepala, nasehatku untuk tidak berdandan seperti itu tak pernah digubrisnya.  Hingga aku bosan sendiri). 
Ibuku sedang menimang-nimang botol mungil itu.  Dipandanginya dengan tak jemu.  Seolah itu permata yang berharga.  Padahal biasanya ibu tak pernah menaruh minat terhadap barang di kamarku.  Kali ini, lain dari biasanya.   Karena biasanya ibu cuma cukup bersay hello saja, sepulangnya dari aerobic, salon atau acara kumpul-kumpul dengan gengnya.   Ya, ibuku memang jarang di rumah.  (Kalau bisa kubilang jarang juga mengurus kami, anak-anaknya, tapi aku takut dosa.  He..he..).
“Punya kamu Don?”  Ibu bertanya tanpa melirik padaku.  Matanya masih meneliti setiap jengkal dari botol mungil itu. 
“Dapet darimana?”  Ibu kembali bertanya tanpa menunggu jawaban. 
“Tadi, waktu Doni ke pasar ada mbak-mbak yang jual botol itu trus..”
“Intinya  sekarang udah punya kamu kan?”  Potong ibu tak sabar.
“Yah, kurang lebih gitu deh.” 
Padahal aku berharap bisa cerita panjang lebar kepada ibu soal pengalaman aneh tadi sore.  Seperti ibunya Ade atau ibunya Hudan.  Aku tahu, semustinya aku tak usah berharap karena itu hanya akan berakhir dengan sia-sia seperti  yang selama ini terjadi. Walau aku sudah hampir menjadi sarjana dan bukan anak kecil lagi tapi tetap saja aku butuh seorang ibu.  Aku menghela nafas berat.
“Boleh nggak buat ibu?”
Untuk kali kedua dalam hari ini aku kembali melongo.  Heran bin takjub. 
Masa ibu yang serba high class dan selera tinggi, mau-maunya memiliki botol yang mungkin saja dipungut dari  jalanan.
“Kok malah bengong?  Boleh nggak?” 
Ibu membuyarkan lamunanku.  Aku buru-buru mengangguk.  Aku masih memikirkan tingkah ibu barusan yang menurutku cukup aneh.  Tak hanya ibu, tapi juga botol itu.  Rasanya ada yang tidak wajar pada botol itu tapi apa?
!!!
            Ternyata peminat botol itu bukan hanya ibu.  Tapi juga ayah, adikku, tetanggaku dan beberapa teman di kampus.  Bukannya aku yang sengaja memamerkan pada mereka.  Tapi mereka sendiri yang langsung seperti mabuk kepayang saat melihat botol-botol mungil itu. 
Bak Pepatah bilang, cinta pada pandangan pertama.  Mungkin itu ynag mereka alami saat ini.  Tergila-gila pada boneka, itu sih aku sudah sering dengar.  Penggemar berat es krim, aku sudah sering lihat.  Idola sama artis tertentu, anak abg banyak yang seperti itu.  Tapi kalau jatuh cinta dengan botol kosong yang nggak ada isinya, baru kali ini kusaksikan. 
Aku sih senang- senang saja melihat wajah mereka yang sumringah setelah kuberi botol.  Rasanya aku jadi ikutan bahagia.  Walalu aku sendiri masih tak mengerti mengapa mereka antusias sekali. 
Tapi tiga hari sejak ibu memiliki botol itu, mendadak semuanya jadi tidak sederhana.  Mendadak semuanya jadi berubah.    Sesuatu yang tak pernah berani kubayangkan  (Walau dalam tidur pun), ibu betah di rumah! 
Itu jelas ibuku, ibuku yang memakai daster berlengan panjang tanpa seulas make up pun menempel di wajahnya.  Aku yakin itu ibuku!  Tadinya kupikir ibu sedang tak enak badan.  Tapi  penampilannya yang berubah diikuti juga dengan bicaranya yang lembut, tatapan yang hangat, belaiannya di kepalaku. 
Aku terpana.  Tak sanggup bertanya.  Aku merasa cukup menikmatinya saja.  Kupuaskan mengobrol apa saja dengan ibu.  Takut bila esok ibu kembali beruibah seperti dulu. 
Semula aku tak mengaitkan peristiwa itu dengan botol-botol mungil milikku tetapi setelah hal yang sama terjadi juga pada ayah dan adikku, aku jadi semakin yakin.  Bahwa botol  itulah sumber perubahan ini. 
Tapi mana  mungkin aku menjelaskannya pada mereka, nanti dikira malah aku sudah gila.  Lantas apa yang menyebabkan ayah tak pernah lagi memaki-maki ibu seperti biasanya?  Bahkan tadi malam, ayah memanggil aku dan adikku.  Ia malah meminta maaf pada kami.  Yang lebih mengejutkan, ia mengakui telah berselingkuh dengan sekretarisnya dan memohon ampun pada ibu. 
Aku shock.  Tapi ibu tidak.  Ibu seolah sudah tahu semuanya.  Ibu yang biasanya balik memaki-maki ayah, tiap kali mereka bertengkar, kini lihatlah!  Malah memeluk ayah dan balik meminta ampun karena selama ini dia tak peduli pada ayah juga kami, anak-anaknya. 
Bingungku bertambah sekian ratus persen saat tadi pagi, saat kami akhirnya bisa sarapan bersama  (Hal yang dulu menjadi langka). Adikku mencium tangan ayah dan ibu, seakan enggan melepaskannya sembari menunduk kaku.  Mengaku bahwa selama ini ia sering mencuri uang mereka. 
Aku  tak jadi menghabiskan sarapan.  Berjalan linglung, menyetop bus jurusan kampus.  Ribuan tanda tanya berputar-putar diatas kepalaku.  Aku masih tak menemukan jawab.  Ada apa sebenarnya dengan mereka?
!!!
            Mustahil bila ini suatu kebetulan semata.  Kugoncang-goncang botol itu.  Tak ada yang terjadi.  Kugoncang lebih keras, tetap tak ada apa-apa.  Aku berharap akan menemukan sesuatu yang telah merubah keluargaku.  Aku harus menemukannya!  Apa pun itu!  Seaneh mungkin itu! 
Karena aku tak berhasil mengorek keterangan dari ibu, juga ayah dan adikku.  Mereka hanya tersenyum dan tersenyum bila aku mendesak cerita tentang botol itu.  Rupanya botol itu lebih ganas penularannya dari virus.  Tiba-tiba saja banyak sekali orang yang menginginkan botol-botol itu.  Mula-mula, keluarga dari teman-temanku.  Lalu saudara jauh dari tetangga-tetanggaku 
Entah siapa yang memulai, berita itu menyebar begitu cepat. Membuatku terkenal, setidaknya di kota kecil kami.  Bahwa aku memiliki botol ajaib yang bisa mngubah prilaku buruk seseorang.  Tiba-tiba saja, Koran lokal mewawancaraiku  (Tak ketinggalan, wartawan yang meliput meminta sebuah botol dan tentu saja kuberi).  Bahkan dosen-dosenku yang jelas berintelektual tinggi (Yang selalu menggunakan logika  dalam segala hal), kali ini pun ikutan.  Disusul para pejabat, pengusaha, pokoknya golongan orang penting di kotaku.  Semuanya tak ketinggalan. 
Akibatnya tumpukan duit dan bingkisan tanda terima kasih berjejalan memenuhi kamarku.   Begitu banyak.  Semakin kutolak pemberian mereka, semakin besar pula jumlah yang kuterima.  Mungkin mereka berpikir, aku hanya basa basi. 
Padahal aku sungguh rela memberi mereka.  Aku kewalahan.  Musti kuapakan uang ini?  Belum yang berupa barang.  Ingin kusumbangkan ke masjid dan yayasan yatim piatu juga fakir miskin. 
Tapi sebelumnya aku merasa harus memberitahukannya kepada si mbak itu.  Bagaimanapun dia berhak tahu bahwa botol-botol miliknya sungguh berharga.  Setidaknya ia harus turut menikmati rejeki ini. 
Tapi bagaimana mencarinya?  Aku tak tahu alamat rumahnya.  Telepon?  Apalagi.  Namanya saja tidak tahu.  Aku yakin dia lebihmembutuhkannya ketimbang diriku. 
Ah, begini saja.  Besok aku kembali ke pasar, berdiri dipinggir trotoar tempat kami dulu bertemu.  Berhari-hari menunggu pun oke.  Yang penting aku harus dapat menemuinya!
!!!
            “Saya sudah tahu…” 
Si mbak menjawab datar.  Tak sedikitpun terbersit rona  terkejut di wajahnya.  Padahal aku sudahmebayangkan ia akan melonjak, mungkin dengan mulut ternganga lebar atau mata yang membeliak bulat.  Tapi semuanya tak kudapati.  Hanya mata sendu yang masih sama seperti dulu saat pertama kami bertemu. 
Kuulangi lagi sederet angka yang bisa membuat orang berdecak.  Dia tetap menjawab sama.
“Ini duit beneran lho, mbak.  Bukan mainan monopoli.  Atau jangan-jangan, mbak sebenarnya nggak percaya ya?”  desakku.
“Saya percaya.”
“Terus kenapa mbak nolak?”
“Botol-botol itu kan bukan punya saya lagi.  Apa kamu lupa,  kemarin dulu  saya sudah kasih ke kamu?”
“Iya sih tapi saya ngerasa nggak berhak atas semua uang ini.  Saya ingin menyumbangkannya.  Rasanya aneh, saya nggak kerja apa-apa tapi kok mereka meembayar saya.  Makanya, sebelum menyumbangkannya saya ingin memberikan sebagian ke mbak.  Gimanapun juga, kan mbak pemilik botol ini sebenarnya..”
Si mbak tersenyum penuh misteri.  “Apa kamu tidak bertanya-tanya, mengapa kamu tidak bisa mendengar suara didalam botol itu,  sementara orang lain bisa?”
           Aku menggedikkan bahu tanda tak mengerti.
            “Karena  kamu belum kehilangan suara dalam jiwamu.  ”
Aku garuk-garuk kepala.  Ugh, kok semakinmembingungkan sih?  Cerita detektif aja nggak pusing-pusing amat.
“Suara didalam botol itu hanya akan berbicara dengan orang yang  telah kehilangan suaranya.”
“Jadi suara itu sebenarnya…?”
“Ya, itu suara nurani mereka yang telah hilang…”

!!!